Spekulasi beragam bermunculan di Medsos

Di media sosial, beredar spekulasi yang semakin liar, dengan beberapa pengguna Twitter menyatakan bahwa kebijakan ini sengaja diterapkan untuk menghalangi siapa pun yang berniat mengungkap ladang ganja dari ketinggian.

Salah satu komentar yang viral menulis, “Yang melarang nerbangin drone & minta membayar patut diduga tahu,” menyiratkan dugaan keterlibatan oknum dalam kebijakan ini.

Komentar lainnya menyebutkan, “Dilarang drone: takut ketahuan. Wajib pemandu: takut nyasar ke ladang.

Tutup sementara: masa panen. Perbaikan: masa tanam. Orang hilang: salah jalan masuk ladang.”

Poin ini menambah kesan bahwa kebijakan yang diterapkan lebih dari sekadar pelindung ekosistem, melainkan juga sebagai cara untuk menutupi fakta lebih besar yang tersembunyi di balik kawasan wisata ini.

Ladang Ganja di Bromo: Pengakuan Tersangka Ungkap Jaringan Besar

Skandal ini semakin mengemuka setelah persidangan di Pengadilan Negeri Lumajang pada 18 Maret 2025, yang mengungkapkan bukti baru tentang jaringan penanaman ganja di kawasan TNBTS.

Tiga terdakwa-Tomo bin Sutamar, Tono bin Mistam, dan Bambang bin Narto-bersaksi bahwa mereka terlibat dalam penanaman ganja atas perintah seseorang bernama Edi, yang hingga kini masih buron.

Dalam persidangan, terungkap bahwa penanaman ganja ini bukan hanya dilakukan oleh individu, melainkan melibatkan hubungan keluarga, dengan Tono yang ternyata menantu dari Tomo.

Tiga terdakwa ini mengaku mendapatkan bibit ganja dan segala perlengkapan dari Edi, yang juga menjadi otak dari operasi ilegal ini.

Mereka mengungkapkan bahwa mereka dijanjikan imbalan besar—Rp150 ribu setiap kali turun ke ladang dan Rp4 juta per kilogram ganja yang dipanen.

Fakta ini mengungkapkan bahwa kawasan konservasi, yang seharusnya dilindungi, justru menjadi tempat untuk aktivitas ilegal yang merusak integritas kawasan tersebut.