“Suwung pamrih, tebih saka drengki lan cidra, mula tentrem atine.”
(Tiada pamrih, jauh dari iri dan tipu daya, maka hatinya tenteram.)
Aksara Sebagai Jiwa Budaya
Legenda Ajisaka menjadi asal mula penataan hanacaraka. Dikisahkan Ajisaka menciptakan aksara ini sebagai penghormatan kepada dua abdinya yang setia.
Cerita ini terpatri dalam Serat Ajisaka dan Suluk Wijil, dua naskah kuno yang tak hanya menceritakan sejarah, tapi juga menanamkan etika.
Susunan aksara Jawa dibuat dalam bentuk pangram, yaitu kalimat yang mengandung seluruh konsonan, terbagi dalam empat larik puisi.
Inilah mengapa masyarakat Jawa dulu belajar membaca melalui “tembang”, agar aksara bisa merasuk, bukan hanya lewat kepala, tetapi ke dalam hati.
Aksara Jawa bukan warisan bisu. Ia adalah doa yang berbentuk huruf, wejangan yang tercetak dalam bentuk tulisan.
Jika kita mau menyelami maknanya, maka setiap barisnya akan menjadi lentera yang menuntun laku hidup-menuju keikhlasan, kesadaran, dan ketundukan pada Sang Pencipta. (*)